Pernah merasa capek membuat orang lain bahagia dan merasa kesal kepada orang yang dengan mudahnya mengatakan “tidak”
Dulu saya mengira, karena saya orang baik, artinya harus selalu mengatakan “iya.”
Ternyata... alasan bilang “iya” karena takut ditolak, takut nggak disukai, takut dianggap egois.
Setiap lihat orang bilang tidak dengan mudahnya, muncul penghakiman : “Gila, tega bener nih orang!”
Padahal, yang sebenarnya saya sedang hakimi... adalah diri sendiri. Pengen bilang tidak, namun belum berani.
🪞 Dalam psikologi populer, ini disebut projection: kita menilai orang lain, padahal itu bayangan dari bagian diri yang belum kita terima.
Dan orang paling penyayang justru adalah mereka yang paling tegas batasannya — karena mereka memberi dari tempat yang sudah penuh, bukan terpaksa.
Sejak saya belajar berkata “tidak'“, hidup terasa lebih damai.
Nggak lagi nyimpen amarah diam-diam.
Nggak lagi berpura-pura kuat sambil pelan-pelan lelah sendiri.
Dan yang paling mengejutkan:
📉 Semakin berdamai dengan diri, semakin berkurang judgment terhadap orang lain.
Refleksi hari ini:
Penghakiman apa yang aku punya terhadap orang lain?
Bisa jadi itu cermin dari kebutuhan atau luka dalam diriku?
Kalau aku berhenti menyalahkan dan mulai memeluk perasaanku…
Apa yang mungkin berubah?
Kalau kita sedang belajar membuat batasan, pertimbangkan ini :
📌 Batasan bukan tembok untuk menolak orang, tapi pintu untuk menghormati diri sendiri.
Menariknya, semakin anda menghormati dan menyayangi diri, tidak ada alasan lagi untuk kita tidak mengorhmati dan sayang ke orang.
Rahmad Barus MBA
Diskusi high vibrasi : The Power of Question